1.
Investasi Dalam Pandangan Islam
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau
berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia
memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti infaq,
zakat, pergi haji, dan lain sebagainya.
Memperoleh harta adalah bagian dari
aktivitas ekonomi yang merupakan salah satu aspek dari muamalah. Kaidah fiqih dari
muamalah adalah semua halal dan boleh
dilakukan kecuali yang diharamkan/dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Islam tidak memisahkan ekonomi
dengan agama, sehingga manusia tetap harus merujuk kepada ketentuan syari’ah
dalam beraktivitas termasuk dalam memperoleh harta kekayaan. Konsekuensinya,
manusia dalam bekerja, berbisnis, ataupun berinvestasi dalam rangka mencari
rezeki harus memilih bidang yang halal walaupun dari sudut pandang keduniaan memberikan
keuntungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bidang yang haram (Nurhayati
& Wasilah, 2008: 70). Perhitungan untung atau rugi harus berorientasi
jangka panjang, yaitu mempertimbangkan perhitungan untuk kepentingan akhirat,
karena kehidupan dunia hanya sementara dan kehidupan yang kekal adalah
kehidupan akhirat.
Awamnya pengetahuan masyarakat tentang investasi, membuat
orang takut untuk berinvestasi. Sebenarnya setiap orang dapat berinvestasi
tidak peduli berapapun hasilnya. Sayangnya hingga kini masih banyak yang
beranggapan bahwa akan berinvestasi bila ada uang yang tersisa setelah segala
keperluan terpenuhi atau jika nanti penghasilannya sudah besar. Padahal
investasi seharusnya dilakukan terlebih dahulu, bukan menunggu sisa penghasilan
atau menunggu penghasilan besar, karena semakin besar penghasilan maka semakin
besar pula pengeluaran.
Masih banyaknya anggap bahwa untuk berinvestasi
diperlukan dana yang besar membuat orang merasa ngeri bila mendengar kata
investasi. Padahal yang penting dalam investasi adalah berapa jumlah yang
dialokasikan, bukan berapa penhasilan seseorang. Hal ini berlaku bagi siapa
saja baik pegawai negeri, karyawan swasta maupun orang yang sudah berkelimpahan
harta sekalipun.
Pemikiran seperti inilah yang membuat banyak orang tidak
mau mulai menata masa depan finansialnya, akhirnya hanya mengeluh tidak dapat
memenuhi kebutuhan dan mulai menyalahkan pihak lain. Padahal setiap individu
bertanggung jawab atas masa depannya sendiri, termasuk masa depan finansialnya, bukan orang lain atau perusahaan
tempat bekerja.
Investasi berarti menanamkan sejumlah uang pada
saat ini untuk mendapatkan keuntungan pada masa yang akan datang. Definisi ini
sedikit mempunyai kemiripan dengan menabung. Sampai saat ini, banyak orang yang
belum paham apa perbedaan antara menabung dan investasi. Menurut salah seorang
pakar keuangan, Eko Pratomo (Suryomurti, 2011: 5), hal mendasar yang harus ada
dalam investasi adalah:
1.
Tujuan dan kebutuhan yang spesifik, misalnya untuk
membiayai pendidikan anak, membeli rumah, atau persiapan masa pensiun.
2.
Jumlah dana yang dibutuhkan.
3.
Jangka waktu yang jelas.
4.
Alternatif instrumen investasi.
5.
Strategi untuk mencapai tujuan investasi tersebut.
Dari poin-poin tersebut, bisa dikatakan bahwa
investasi adalah suatu proses pengelolaan aset atau kekayaan dengan orientasi
atau tujuan tertentu yang didalamnya terdapat strategi untuk meraih tujuan
tersebut. Sementara itu, menabung bisa dilakukan meski tanpa lima poin diatas.
Islam bukanlah agama yang anti investasi meski tidak secara
spesifik memberikan pengertian atau definisi khusus tentang investasi. Justru,
Islam adalah agama yang pro-investasi. Islam menginginkan agar sumber daya yang
ada tidak hanya disimpan, tetapi diproduktifkan sehingga bisa manfaat kepada
umat. Dalam Islam, kegiatan bisnis dan investasi adalah hal yang sangat
dianjurkan. Meski begitu, investasi dalam islam tidak berarti setiap individu
bebas melakukan tindakan untuk memperkaya diri atau menimbun kekayaan dengan
cara tidak benar. Etika bisnis harus tetap dilandasi oleh norma dan moralitas
yang berlaku dalam ekonomi islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadist.
Menurut Navqi dan Muslich seperti
dikutip dari Hidayat (2011: 24-25), ada empat landasan normatif dalam etika
Islami adalah tauhid, keadilan dan kesejajaran, kehendak bebas, serta
pertanggung jawaban.
Dengan begitu, investasi sebagai salah satu aktivitas
ekonomi akan memiliki nuansa spiritual manakala menyertakan norma syariah dalam
pelaksanaannya. Berinvestasi secara syari’ah, maka insya Allah keuntungan yang
bisa diperoleh tidak hanya berupa keuntungan duniawi tetapi juga ukhrawi, jadi bisnis yang menguntungkan
adalah bisnis yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dinia
ini, namun juga bisa dinikmati di akhirat kelak dengan keuntungan yang berlipat
ganda (Amri, 2006: 183).
Menurut pandangan Islam, keuntungan itu memiliki beberapa
aspek holistik (Amrin, 2006: 176), yaitu:
1.
Aspek materiil atau financial; kegiatan investasi hendaknya
menghasilkan manfaat secara financial yang kompetitif jika dibandingkan dengan
investasi lain.
2.
Aspek kehalalan; kegiatan investasi harus benar-benar terjamin dari
adanya unsur syubhat dan haram baik
secara prosedur maupun kegiatan bisnisnya.
3.
Aspek sosial dan lingkungan; kegiatan investasi dapat memberikan
kontribusi yang berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, untuk
berbagai lapisan, terutama generasi saat ini dan yang akan datang.
4.
Aspek pengharapan kepada ridha Allah; kegiatan investasi yang dipilih
bertujuan mencapai bertujuan mencapai ridha Allah.
Aktivitas kerja yang yang memberikan keuntungan finansial, karir, dan prestise pada gilirannya membutuhkan
sesuatu yang harus dikorbankan seperti hilangnya waktu untuk bersenang-senang,
gangguan kesehatan, hingga kemungkinan hilangnya pekerjaan. Pengorbanan yang
mungkin diderita itulah yang disebut sebagai resiko. Dalam hal ini resiko
merupakan konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan. Resiko merupakan ancaman
atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang
berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai, namun resiko juga merupakan
peluang untuk mencapai tujuan.
Resiko dan hasil bagaikan dua sisi
mata uang yang berlawanan. Kecenderungan hubungannya adalah tingkat hasil yang
membutuhkan tingkat resiko yang tinggi juga (Idroes, 2008: 4). Jargo yang
terkenal adalah “High Risk : High Return”.
Artinya, jika mengambil resiko tinggi, lakukan investasi pada saham lapis kedua
atau ketiga yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami kerugian. Namun
sebaliknya, saham tersebut saham tersebut berpeluang untuk mengalami kenaikan
harga yang tinggi sehingga memberikan peluang keuntungan yang tinggi.
Sifat dasar manusia adalah tidak mau menerima
resiko. Oleh karena itu, diperlukan upaya agar hubungan antara resiko dan hasil
dalam situasi, yaitu:
v Hasil maksimal pada resiko yang minimal.
v Meningkatkan probabilitas keberhasilan dan
menurunkan resiko kegagalan.
v Menetapkan titik temu resiko dan hasil.
Jadi menurut hemat penulis, resiko merupakan tantangan
dalam melakukan bisnis, resiko adalah bahaya yang akan dihadapi dalam melakukan
investasi yang dapat menyebabkan kerugian, namun resiko juga dapat menjadi
keuntungan jika mampu dikelola dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar